Umat beragama, dalam kehidupannya yang berhadapan dengan berbagai keragaman, baik faham, norma hukum, perilaku dan etik tidak bisa melepaskan dirinya dari ajaran agama. Banyak sikap-sikap fanatik dan keteguhan dalam memegangi ajaran ini dikonotasikan sebagai sikap eksklusifisme dan intoleransi yang negatif, bahkan ada lagi yang mengganggapnya sebagai sikap agresif. Sebagai suatu istilah bahasa memang lazim mengalami perubahan pemahaman dan pemakaian.
Terlepas dari apa konotasi dari isti¬lah tersebut, setiap muslim (pemeluk agama) musti meyakini agamanya se¬bagai kebenaran yang mutlak (absolut). Namun demikian, keyakinan ini harus diletakkan dalam sisi subyektifitas dan obyektifitas. Secara subyektif seorang muslim lebih jauh meyakini agama Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, dan mengatakan bahwa semua ajaran yang berbeda dan bertentangan dengan Islam adalah ajaran yang salah. Namun pada sisi obyektif, seorang muslim itu harus memberi hak kepada pemeluk agama lain untuk berkeyakinan dan mengatakan hal yang serupa. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa semua pemeluk agama mempunyai keyakinan demikian, meski yang keluar lewat pernyataan bisa berbeda, atau dalam interaksi perlu dijaga hal-hal yang lebih bersifat subyektif untuk tidak dipertentangkan.
Jadi tidak ada salahnya mengatakan bahwa agama saya adalah yang benar, tetapi sambil ‘tersenyum’ mempersilahkan pemeluk agama lain untuk mengatakan yang sama. Dengan demikian toleransi dan komunikasi antar umat beragama tak ada persoalan. Artinya, bukan dengan memaksakan kemutlakan subyektif dalam kenyataan obyektif, atau sebaliknya menghilangkan kemutlakan subyektifitas dengan membenarkan dan membolehkan semua. Dengan keyakinan subyektif itu justeru masing-masing agama dapat tumbuh subur. Tanpa keyakinan demikian, peranan agama sebagai kekuatan normatif dan acuan moral akan kendor, tidak mampu lagi menjadi faktor pembentuk perilaku umat atau masyarakat yang memeluknya.
Dalam konteks ini perlu dihormati sikap-sikap fanatisme dari setiap pemeluk agama, seperti seorang muslim yang tidak minum-minuman yang memabukan, makan daging babi, atau kesempatan melaksanakan shalat terutama dalam berbagai forum antar berbagai pemeluk agama. Begitu juga kesempatan pergi ke gereja bagi orang Kristen, serta dikeramatkannya sapi oleh orang Hindu.
Menarik adalah kasus jilbab yang belakangan cukup hangat di masyarakat kita. Jika kita melihat kasus jilbab sebagai pakaian wanita muslimah untuk menutup auratnya sesuai dengan tuntunan agama dan hukum Syara’, seharusnya tidak perlu terjadi anggapan negatif dan kecurigaan. Kebenaran yang mutlak dalam subyektifitas muslimah tidak bisa dan tidak perlu dihalangi. Hanya, jika persoalan ini pernah menghangat, maka hal itu dapat dilihat: pertama, jilbab merupakan model pakaian yang baru bagi masyarakat kita yang sudah terbiasa dengan model pakaian Barat atau tradisional. Sebagai sesuatu yang baru dan hanya beberapa orang saja yang memakainya, timbullah shock atau kegoncangan di kalangan masyarakat, seolah-olah jilbab menggugat dan mengancam kemapanan tradisi yang sudah dominan. Kedua, orang memandang jilbab pada saat munculnya dengan telah dipengaruhi oleh referensi revolusi Iran, sehingga membuat image mereka menghubungkan jilbab itu dengan pemberontakan, kekerasan dan sebagainya. Bayangan orang yang melihat seorang gadis dengan memakai jilbab misalnya, menimbulkan kesan-kesan yang serba keras, eksklusif yang mengerikan, meskipun yang memakai itu adalah seorang gadis yang lemah lembut.
Secara sosio-kultural hal-hal itu wajar saja dan memang tidak bisa dipersalahkan. Dan sebagai proses akulturasi, kini diperlukan ketabahan bagi pioner-pioner yang sudah mulai memakainya. Pandangan dan kesan yang negatif itu pada saatnya akan hilang sendiri, bahkan akan dapat menerima, menyesuaikan atau mengikutinya. Apalagi jika hal ini dipahami dari perspektif keimanan dan pelaksanaan ajaran agama yang diyakini kebenarannya serta berhak untuk dihormati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar